Mengatasi Kecemasan terhadap Tes

Beberapa bulan mendatang, siswa SMA dan SMK disibukkan dengan ajang epik nan fenomenal: Ujian Nasional (UN). Menghadapi perhelatan akbar ini, guru dan orang tua jauh-jauh hari melakukan berbagai persiapan, mulai dari ulangan, tugas, latihan soal, try out sampai doa bersama. Semua pihak berupaya dengan berbagai cara agar siswa mendapatkan hasil optimal.

Di tengah proses tersebut, terkadang tak bisa dihindari, siswa mengalami kecemasan. Kecemasan terhadap tes didefinisikan sebagai serangkaian respon fenomenologis, fisiologis dan perilaku yang mengikuti kekhawatiran atas kemungkinan konsekuensi negatif atau kegagalan dalam tes, ujian atau situasi evalusai serupa (Sieber, O’Neil & Tobias dalam Zeidner, 1998).

Kecemasan terhadap tes dibagi oleh Zeidner (1998) dalam tiga komponen berikut ini:

  1. Kognitif yaitu komponen yang muncul dalam bentuk pemikiran yang terfokus pada kegagalan diri dan ketidakmampuan dalam situasi tes
  2. Afektif yaitu komponen yang mncul dalam rangsangan emosi serta ketegangan yang mengakibatkan detak jantuk meningkat, nafas semakin cepat, perut terasa tegang, kepala menjadi pening, mulut terasa kering dan tangan gemetar
  3. Perilaku yaitu komponen yang muncul dalam tingkah laku keterampilan belajar yang kurang efektif dan pengerjaan tes yang kurang memadai antara lain kurang terampil membagi waktu untuk belajar dan melakukan prokrastinasi akademik dengan menunda  

Faktor pemicu kecemasan dan proses terjadinya kecemasan terhadap Tes

Kecemasan ini bisa dipicu dari faktor situasional maupun faktor subyektif (Zeidner, 1998). Faktor situasional adalah hal-hal kontekstual yang terkait dengan tes dan situasi tes. Tes pilihan ganda berbeda dibandingkan esai, tes evaluatif berorientasi prestasi tidak sama dengan tes netral untuk pemetaan. Faktor subyektif adalah hal-hal yang terkait pada bagaimana individu memaknai tes secara subyektif. Individu yang cemas menghadapi tes cenderung fokus pada diri sendiri secara negatif dan terpaku pada pikira-pikiran yang tidak terkait dengan tugas. Lebih lanjut, Zeidner (1998) menjelaskan proses terjadinya kecemasan terhadap tes yaitu:

  1. Antisipasi saat individu mempersiapkan diri menghadapi situasi tes dan melakukan cara-cara terbaik untuk menghadapinya
  2. Konfrontasi saat individu berhadapan dengan tes, dimana komponen kognitif, afektif dan perilaku saling memicu dan beradu sehingga meningkatkan hambatan dan rasa tidak nyaman yang dapat mempengaruhi performa
  3. Menunggu saat tes berlalu dan individu menantikan pengumuman hasil serta menghadpai kegelisahan dengan mengira-ngira nilai apa yang akan ia peroleh. 
  4. Hasil saat ketidakpastian yang dihadapi oleh individu selesai engan mengetahui seberapa mampu dirinya mengerjakan tes, dimana hasil tersebut kemudian ia maknai secara positif atau negatif.

Di dunia pendidikan, kecemasan terhadap tes mendapatkan perhatian serius, sehingga terdapat sejumlah intervensi yang dikembangkan untuk membantu siswa mengatasi hal ini. Ergene (2003) meyimpulkan bahwa intervensi yang efektif adalah kombinasi antara relaksasi dan keterampilan belajar. Menurut Sapp (1999), keterampilan belajar yang penting untuk dikembangkan adalah manajemen waktu dan keterampilan membaca. Manajemen waktu membantu siswa merencanakan dan menggunakan waktu untuk belajar, beristirahat, bermain dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Keterampilan belajar antara lain adalah keterampilan membaca.  

Kecemasan terhadap tes dapat terbentuk tanpa sengaja oleh keluarga dan orang tua. Standar dan tuntutan orang tua atas perfoma intelektual anak yang tidak realistis ditambah pola pembimbingan yang menghukum merupakan salah satu faktor utama pembentuk kecemasan terhadap tes (Hill, Teichman & Ziv dalam Zeidner, 1998). Guru yang menetapkan standar tinggi dan/atau terlalu keras mengkritik siswa membuat individu cemas menghadapi tes (Hill, dalam Zeidner, 1998).

Pentinya Peran Orang tua dan Guru dalam mengatasi kecemasan siswa

Penting bagi orang tua dan guru untuk menyadari hal ini. Sarason (1972) menyebutkan tentang pemberian instruksi yang menenangkan oleh orang tua. Komunikasi seperti ini menekankan bahwa kegagalan adalah bagian yang lazim dalam belajar, menghargai usaha, memberikan umpan baik tentang tujuan dan kesuksesan akademik yang realistis. Sarason dalam Ziedner (1998) juga menjelaskan bahwa guru dapat memberikan instruksi tes yang berorientasi pada tugas. Ketimbang mengungkapkan ekspresi evaluatif, guru dapat menyampaikan pernyataan-pernyataan seperti “Pusatkan perhatianmu pada tes” atau “Jangan pikirkan hal-hal lain” karena instruksi seperti ini dapat mengembalikan fokus siswa yang konsentrasinya buyar karena cemas. Siswa yang melakukan relaksasi dan memiliki keterampilan belajar yang efektif, didukung dengan orang tua memberikan instruksi menenangkan dan guru yang memberikan instruksi berorientasi tugaslah yang paling siap menghadapi kecemasan menghadapi tes.

 

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya

Referensi

 

Sapp, M. (1999). Test anxity: Applied research, assessment and treatment intervention. 2nd edition. New York: University Press of America.

Sarason, I.G. (1972) Experimental approaches to test anxiety: Attention and the uses of information. Dalam

Spielberger, C.D. (editor) Anxiety current trends in theory and research Volume II New York: Academic Press.

Zeidner, M. (1998). Test anxiety: The state of art New York: Kluwer Academic Publisher.