Pandemi dan Pengangguran

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo, M.A., M.Psi., Psikolog

Dosen Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora dan Bisnis

Universitas Pembangunan Jaya

 

Pandemi dan berbagai ketidakpastian yang menyertainya membuat para pencari kerja – baik mereka yang baru lulus maupun mereka yang harus kembali berjuang mencari kerja karena kehilangan mata pencarian mereka akibat tergilas kondisi ekonomi -  diliputi keragu-raguan: apakah saya layak untuk diterima bekerja di institusi XYZ, apakah saat saya mengajukan lamaran seberapa besar peluang saya untuk mendapatkan kesempatan tersebut, sebagai pejuang lowongan apakah saya meyakini dan percaya bahwa saya mampu untuk menembus pasar kerja?

Rothwell, Herbert dan Rothwell (2008) tertarik untuk menekuni ini, dimana mereka melihat bahwa dalam perjuangan seperti di atas, individu membutuhkan perspektif yang berorientasi masa depan (future-oriented) dan kemampuan untuk secara proaktif mempersiapkan diri untuk menghadapi aneka perubahan terkait dengan dinamika mencari kerja. Berbekal penelitian sebelumnya dari Rothwell dan Arnold (2007), maka Rothwell, Herbert dan Rothwell (2008) mendefinisikan bahwa perceived employability sebagai kemampuan untuk mempertahankan pekerjaan yang dimiliki atau mendapatkan pekerjaan yang diinginkan (the ability to keep the job one has or to get the job one desires).

Bagaimanakah Rothwell et al (2009) membangun pemahaman tentang self-perceived employability? Mereka melakukannya dengan menyusun matriks yang terdiri dari empat komponen yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Komponen pertama adalah “Universitas Saya (my university)” yaitu reputasi dan citra merek (brand image) dari universitas; lalu komponen kedua adalah “Bidang Studi Saya (my field)” yang terkait dengan gelar akademik yang disandang para lulusan. Selain itu komponen ketiga adalah “Kondisi Pasar Kerja (the state of the external labour market)” yang mencerminkan kesadaran tentang kesempatan yang tersedia di luar, persepsi terkait dengan kompetisi mendapatkan pekerjaan serta tuntutan lapangan pekerjaan. Terakhir “Keyakinan Diri” (self belief)” yang terkait dengan faktor internal dari diri si kandidat. Rothwell, Jewell dan Hardie (2009) melihat bahwa relasi antar komponen inilah yang menjadi penentu seberapa besar keterlibatan (engagement) mahasiswa dengan upaya mengejar performa akademik, kredibilitas bidang ilmu yang ia pelajari, persepsi terhadap kesempatan kerja yang terbuka untuk diambil serta seberapa yakin diri seseorang bisa meraih kesempatan tersebut. Dengan cara inilah, perceived employability diukur dengan cerminan dari bagaimana diri seserang mengevaluasi ke dalam diri sendiri dengan melihat kemampuan personal dan kerjanya, sekaligus merefleksikan bidang ilmu, tempat ia menimba kompetensi serta pasar kerja dl luar sana.

Rothwell, Herbert dan Rothwell (2008), sebagaimana dikutip dalam Chow, Wong dan Lim (2019) menjelaskan bahwa perceived employability dimaknai sebagai persepsi subyektif seseorang (subjective perception) melihat mampu atau tidak dirinya mendapatkan lapangan pekerjaan yang berkelanjutan (sustainable employement) berdasarkan kualifikasi dan kemampuan diri yang ia miliki. Dengan kata lain, perceived employability fokus pada kemampuan yang dirasakan individu untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya (Rothwell, Herbert & Rothwell (2008) sebagaimana dikutip dari Sawitri dan Dewi, (2018)). Penekanan pada kesesuaian antara pekerjaan dengan tingkat kualifikasi yang dimiliki juga menjadi titik penting dalam memahami tentang perceived employability, sebagaimana disampaikan oleh Atitsogbe (2019).

Rothwell dan Arnold (2007) melihat bahwa ketika kita fokus pada perceived employability, maka telaah tidaklah berhenti pada apakah seseorang siap kerja dan bisa mengampu sebuah peran di kantor, tetapi lebih jauh lagi, individu tersebut mampu mempertahankan pekerjaan yang ia miliki karena kualifikasi yang ia miliki atau mendapatkan pekerjaan yang memang sungguh-sungguh ia cita-citakan. Individu dengan perceived employability yang tinggi bukanlah orang yang akan tergesa-gesa mengambil lowongan kerja apapun yang terbuka, tetapi bisa mengevaluasi situasi kerja dengan cara yang lebih cermat, melihat kerja dalam interpretasi sebagai kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan kelak jika sampai dirinya mengalami situasi yang menekan dalam pekerjaan bahkan mungkin sampai pindah kantor dengan melalui transisi kerja (job transition), individu tersebut bisa menarik makna dari rangkaian peristiwa tersebut secara lebih berarti. Hal ini karena individu dengan perceived employability dapat menilai keahlian yang ia miliki kemudian mencocokkannya dengan tujuan karir serta hal-hal yang ia temui di dalam situasi kerja sehingga dapat melakukan strategi karir dengan lebih jitu (Lestari, 2017).

Rothwell et al (2009) dalam Qenani et. al (2014) melihat bahwa memang variabel ini mencerminkan seberapa jauh seseorang berharap bisa mendapatkan peluang kerja yang memang tepat baginya. Vanhercke, De Cuyper, Peeters dan De Witte (2014) mendalami pemikiran di atas sebagai berikut. Benar bahwa memang perceived employability merupakan bentuk evaluasi subyektif. Selain itu, perceived employability memuat pemahaman tentang peluang atau kemungkinan yang tersedia di pasar kerja  – yang berupa perkiraan.

Keterkaitan antara faktor ini yang bisa membuat contoh berikut: individu dewasa berpendidikan tinggi berpengalaman kerja sekian tahun bisa saja punya perceived employability yang lebih rendah dibandingkan lulusan SMK yang muda usia dan belum matang. Orang-orang lain melihat hal ini bisa saja keheranan, tetapi contoh di atas sangat boleh jadi ada - karena memang faktor psikologi di dalam dirinya yang menjadi penentu.

Perceived employability, menurut Domagala-Zysk, Mamcarz, Martynowska, Fudali-Czyz dan Rothwell (2021) merupakan proses yang bergantung pada faktor-faktor eksternal (sosial, ekonomi, pendidikan, budaya) dan internal (pribadi). Koloba (2017) mendapati dalam penelitiannya pada mahasiswa, ketika mereka melihat diri mereka mampu memiliki keterampilan kerja, maka self-perception employability mereka pun juga tinggi. Karli (2016) melihat bahwa pengalaman kerja – termasuk juga magang – merupakan hal yang mempengaruhi perceived employability.

Dari sejumlah faktor di atas, regulasi diri yang baik diketahui mengarahkan individu untuk memiliki perceived employability. Hall dan Chandler (2005) yang dikutip oleh Sawitri dan Dewi (2018) menemukan bahwa individu dengan regulasi diri yang efektif cenderung lebih termotivasi dalam mencapai tujuannya, lebih mampu mengendalikan emosi serta mengatasi masalah serta mampu mengelola pencapaian tujuannya secara lebih baik – yang mana hal tersebut berdampak pada bagaimana dirinya mengevaluasi kemungkinan dirinya untuk dapat kerja yang dicerminkan oleh perceived employability. Dengan regulasi diri, maka individu bergerak untuk menambah pengetahuan tentang karir yang dicita-citakan, memperluas jejaring, mencari informasi dari mereka yang dipandang ahli di bidang karir yang dituju serta membuat perencanaan untuk mencapainya, demikian menurut Savickas (1999) sebagiamana dikutip dari Sawitri dan Dewi (2018). Lebih jauh lagi, Van Der Heije (2014) bahkan menyodorkan argument bahwa regulasi diri merupakan konsep yang penting dalam bidang psikologi pendidikan sampai psikologi organisasi bahkan bisa menjadi konsep yang menjembatani antara berbagai teori seputar employability. Hal ini ia sodorkan dengan melihat persamaan antara perceived employability dengan regulasi diri, dimana keduanya sama-sama berorientasi pada hasil (outcome or results-oriented) serta performa (performance oriented). Regulasi diri yang dipahami sebagai kemampuan untuk secara fleksibel mengerahkan berbagai sumber daya dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dipandang berkontribusi pada perceived employability untuk meraih dan mempertahankan pekerjaan sesuai kualifikasi yang seseorang miliki.

Rothwell, Herbert dan Rothwell (2008) menyadari bahwa self-perceived employability memang sebuah takaran yang bertumpu pada persepsi terhadap diri sendiri, seberapa realistiskah persepsi tersebut? Bukan tidak ada orang kompeten yang menilai diri tidak employable. Akan tetapi yang jelas, mengukur bagaimana individu melihat prospek kerjanya di masa depan tetap merupakan hal penting untuk memahami faktor-faktor internal yang mendukung seseorang untuk bisa bekerja, hal ini tetap bisa berkontribusi dalam pengembangan program konseling karir, bimbingan karir maupun berbagai pelatihan untuk meningkatkan kemampuan menembus pasar kerja.

Lalu urgensi mengkaji soal regulasi diri dan perceived employability saat ini? Kembali ke konteks awal, dengan dampak ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi yang membuat persaingan mencari kerja lebih ketat dibandingkan sebelumnya. Xie, Lin, Baranchenko, et al (2017) melihat bahwa perceived employability mempengaruhi perilaku mencari kerja (job search), dimana hal tersebut dipengaruhi oleh regulasi diri seseorang. Menghadapi pasar kerja yang boleh jadi suram, sejak duduk di bangku kuliah ada baiknya mahasiswa membenahi regulasi dirinya, karena ketika kelak ia terjun mencari peluang, hal inilah yang akan dapat membantu dirinya membangun perceived employability yang tinggi.

Pemahaman tentang perceived employability diharapkan dapat membuka pintu pada hal-hal berikut. Penelitian Magnano, Santisi, Zammitti, et al (2019) dimana perceived employability secara langsung mempengaruhi kepuasan hidup (life satisfaction). Vanhercke, De Cuyper, Peeters dan De Witte (2014) melanjutkan bahwa perceived employability diprediksi berkontribusi pada kepuasan kerja (job satisfaction). Karli (2016) juga melihat bahwa perceived employability berdampak pada pengalaman (baik dalam bekerja maupun dalam hidup), seberapa baik seseorang menguasai bidang kerjanya. Lestari dan Kusumaputri (2017) juga menyimpulkan bahwa perceived employability yang tinggi pada para pekerja profesi membuat mereka lebih memahami panggilan pekerjaan (career calling) dengan baik sehingga dapat melakukan tugas dengan memaksimalkan potensi dan keahlian yang ia miliki.  Trisnawati dan Yulianti (2019) juga lebih jauh lagi mengaitkan perceived employability dengan pengembangan karir (career development). Oleh karena itu, kajian terkait perceived employability menjadi penting karena penelusuran seputar hal ini akan membawa pada pemahaman yang lebih baik terhadap kerja – tak hanya untuk mencari nafkah tetapi juga sebagai bentuk pencapaian aktualisasi diri.