Resolusi Tahun Baru : Sebagian besar dari kita mengawali tahun baru dengan aneka resolusi. Efektifkah?

Apa resolusi Anda untuk tahun 2022 ini? Sebagian besar dari kita mengakhiri tahun 2021 dengan perasaan campur aduk, mengingat dampak pandemi masih juga betah menggantung di udara. Rasa haru, syukur dan getir boleh jadi terasa, namun semangat menyambut asa tetap ada. Tak heran, beberapa hari terakhir ini, media sosial kita semua diwarnai gegap gempita aneka konten menyambut 2022. Isinya beraneka resolusi: mulai dari janji untuk hidup sehat, berhenti merokok, olahraga teratur, rutin membaca buku, mengurangi waktu berselancar di dunia maya, lebih menyayangi diri sendiri, mulai berlatih bermeditasi, lebih banyak melewatkan waktu dengan orang-orang tercinta dan lain sebagainya.

Efektifkah?

Psychology Today setiap awal tahun merilis artikel ilmiah populer membahas tentang rutinitas manusia urban yang satu ini. Tahun demi tahun, sederetan artikel di Psychology Today bisa dirangkum dalam uraian berikut ini. Dilansir 74 persen dari kita mencanangkan resolusi tahun baru. Resolusi tahun baru yang populer adalah lebih giat berolahraga. Menariknya, berdasarkan penelitian berbasis aplikasi kebugaran yang otomatis mencatat aktivitas olahraga, sebagian besar dari kita menyerah kalah, tak usah jauh-jauh, di tanggal 19 Januari kita sudah membuang resolusi kita ke tempat sampah.

Mengejutkan? Ternyata tidak juga, kita sendiri sejujurnya tak heran melihat kebiasaan kita sendiri. Padahal kita sendiri tahu, nanti di tahun depan mendatang, kita pun mengulangi hal yang sama. Lagi dan lagi, kita semua mengakhiri tahun dengan aneka gagasan besar tentang rencana jitu menjadi versi terbaik dari kita, semua itu bertahan tak lebih dari 2-3 minggu saja. Psychology Today melansir penelitian yang mengkaji apakah ada resolusi tahun ini berhasil dilakukan. Hanya 19 persen yang melaporkan bahwa resolusi awal tahun tersebut membawa setidaknya pada sejumlah capaian di sepanjang tahun. Sisanya? Bahkan ingat resolusinya pun tidak.

Pertanyaan yang perlu diajukan pada diri sendiri adalah: Mengapa semua ini bisa terjadi? Menyitir kembali Psychology Today, resolusi tahun baru yang kita tetapkan seringkali memang suatu “hil yang mustahil” dikutip dari pelawak Asmuni. Turun 10 kg dalam waktu 1 bulan jelas-jelas bak sulap, toh bisa jadi kita pernah tak masuk akal menetapkan sasaran sespektakuler ini.

Selain itu, kita cenderung tidak merinci dalam setiap langkah yang bisa dicapai. Kita juga gagal mengantisipasi aneka tantangan. Alhasil begitu sasaran ini terlepas beberapa kali, akhirnya kita pun menarik napas panjang, mengangkat bahu lalu berkata pada diri sendiri, “Ah, ya sudahlah...”

Lalu harus bagaimana? Inilah pertanyaan berikut yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri. Apakah sebaiknya kita lupakan saja membuat resolusi tahun baru? Psychology Today tidak menyarankan untuk sepenuhnya menghapus ritual ini, tetapi menawarkan sudut pandang lain yang menempatkan pada pentingnya makna (meaning).

Cobalah Anda gali terlebih dahulu: ada apa di belakang resolusi tahun baru Anda? Jika Anda memakaninya secara personal, maka resolusi tersebut menjadi sulit Anda lepaskan begitu saja. Resolusi tahun baru seringkali membuat kita terjebak pada ‘tahun baru.’ Titik ini dipandang laksana momen magis perwujudan sebuah dimensi temporal yang memisahkan masa lampau yang suram dan masa depan yang gilang gemilang. Jebakan cara berpikir seperti itulah yang justru harus kita bongkar. Bagaimana caranya? Caranya lepas dari penjara waktu dan mulai melakukan hal yang tampaknya membosankan: rutinitas.

Psychology Today mengajak kita melihat apa yang kita lakukan secara berkala di sepanjang hari. Apakah kita punya kebiasaan menonton televisi tanpa henti dari jam 20.00 sampai jam 21.00? Jika demikian, maka gantilah rutinitas tersebut dengan yang lain. Jika Anda ingin hidup sehat, maka slot waktu 1 jam tersebut Anda ganti dengan rutinitas berikut. Tuliskan apa yang ingin anda capai serinci mungkin dengan detail sejelas mungkin, jika perlu ikutilah kaidah asdikamba: apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana.

Lalu apa? Lihatkah rumusan Anda. Apakah Anda menggunakan kalimat negatif, contohnya: saya tidak akan lagi menunda-nunda? Jika ya, maka maka coba ubah resolusi tersebut dalam kalimat positif yang rinci, misalnya: saya akan berolahraga mengikuti aplikasi kebugaran di ponsel pintar saya selama minimal 30 menit di antara pukul 20.00-21.00.

Kemudian? Lakukanlah.

Jadikan hal tersebut kebiasaan. Set pengingat di ponsel agar Anda tak terlupa. Ajak anggota keluarga yang lain untuk berolahraga bersama. Hilangkan kebiasaan lain yang berpotensi melemahkan tujuan, misalnya ramai-ramai pesan martabak untuk cemilan malam.

Setelah melakukan ini semua, apakah resolusi tahun baru kita dipastikan berhasil sepenuhnya? Sebagian mungkin ada yang tercapai, sebagian lagi bisa juga gagal. Beberapa sasaran ambyar bahkan di bulan pertama, sementara lainnya mungkin masih ada yang bisa terselamatkan.

Tak apa-apa, maafkanlah diri Anda karena Anda sejatinya manusia biasa. Cobalah berbicara pada diri sendiri menggunakan nada yang positif seolah-olah Anda sedang menghibur sahabat Anda (positive self-talk). Apa yang terjadi? Hal apa yang saya bisa pelajari dari langkah-langkah yang ternyata kurang berhasil? Apakah ada pembelajaran yang bisa saya petik tentang diri saya sendiri?

Sejatinya bukan ‘tahun baru’ yang menjadi esensi. Resolusi menjadi diri yang baru bisa kita jalani bukan hanya di detik-detik antara jam 00.00 tanggal 31 Desember dan 1 Januari. Bukan tiap ganti kalender, tetapi tiap bulan, tiap hari, bahkan tiap detik, kita bisa menjadi diri kita yang lebih baik.

‘Resolusi tahun baru’ tidaklah penting-penting benar, yang perlu adalah resolusi ‘tiap hari.’ Menjalani hidup dengan bermakna, merinci tujuan dengan rencana, melangkah dengan renjana dan bercermin dengan seksama – maka kita pun akan jadi ‘manusia baru’ bukan cuma di tahun baru, tetapi setiap saat.

 

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Psikolog dan Dosen Program Studi Psikologi

Universitas Pembangunan Jaya